Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang Spatial Order kegiatan ekonomi atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (Activity). Secara umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti; bahan baku lokal (Local Input), permintaan lokal (Local Demand), bahan baku yang dapat dipindahkan (Transferred Input), dan permintaan luar (Outside Demand) Hoover dan Giarratani (2007).
A. Teori Weber (1909)
Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum sangat identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau (Locational Triangle) untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material, sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (Closed Curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan.
B. Teori Christaller (1933)
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya didalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri, dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3 Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan Range dan Threshold.
C. Teori Von Thunen (1826)
Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.
D. Teori Lokasi dari August Losch
Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau didekat pasar.
E. Teori D.M. Smith
D.M. Smith memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep biaya rata-rata (Average Cost) dan penerimaan rata-rata (Average Revenue) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Selisih antara penerimaan rata-rata dikurangi biaya rata-rata adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.
F. Teori McGrone (1969)
McGrone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan dimasa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan.
0 comments:
Post a Comment